KOMUNIKASI EFEKTIF SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI KINERJA ORGANISASI

*) Totok Sugiarto

Dimuat dalam Majalah Berita Pajak 01 Nov 2008
I. Organisasi dan Problematika Organisasi
Organisasi merupakan sekumpulan orang, modal, dan tujuan bersama. Untuk mencapai tujuan organisasi ditetapkan sejumlah perangkat organisasi yang terdiri dari:
1. struktur kelembagaan beserta orang-orangnya;  hard system
2. sarana dan prasarana;  hard system
3. tools atau instrumen pendukung untuk menjalankan fungsi;  hard system
4. sistem operasi yang biasa disebut sebagai standard operational and procedure (SOP).  soft system

Disamping itu untuk menjalankan fungsi planning dan organizing maka ditetapkan pula visi dan misi organisasi, rencana strategis, rencana kerja operasional, dan program kerja yang bersifat tahunan, semesteran, triwulanan, maupun insidential. Pihak-pihak yang bertanggung jawab atas berjalannya segala macam fungsi yang ada di dalam organisasi sehingga organisasi tersebut tetap berada pada ’jalur’nya yang benar dan mengarah ke tujuan organisasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
• Penanggung jawab langsung meliputi manajemen yang ada dalam organisasi, dalam hal ini adalah pengurus, mulai dari pimpinan hingga frontliner;
• Penanggung jawab tidak langsung meliputi share holder (pemegang saham), dan stake holder ataupun user (pihak ketiga yang berkepentingan dengan kinerja organisasi yang bersangkutan).

Secara umum terdapat dua jenis organisasi jika dilihat berdasarkan tujuan pendiriannya meliputi organisasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan (mengupayakan kesejahteraan anggotanya) dan organisasi yang tidak mencari keuntungan (organisasi sosial). Jika dilihat dari kedudukan atau kepentingannya organisasi dapat dibedakan menjadi organisasi pemerintah dan organisasi non pemerintah (ornop).
Dalam pelaksanaan laju roda organisasi seringkali sistem yang ada dalam organisasi tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari penilaian kinerja organisasi yang masing-masing organisasi mempunyai variabel-variabel yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan tujuan organisasi. Jika kinerja organisasi tidak sesuai dengan yang menjadi harapan banyak pihak baik itu manajemen, share holder, maupun stake holder, maka yang perlu dilakukan adalah evaluasi secara menyeluruh terhadap organisasi. Jika permasalahan bersifat persoonlijk, dalam hal ini misalnya pimpinan (sebagai decicion maker dalam mengambil kebijakan organisasi), maka langkah yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan organisasi relatif mudah misalnya dalam kasus Bank Indonesia (BI) yang sedang mencuat, yaitu dengan mengganti persoon tersebut. Atau jika terjadi pada level frontliner, maka yang bisa dilakukan antara lain adalah dengan mengadakan program pengembangan pegawai dengan output yang diharapkan berupa perbaikan attitude dan magnitude pegawai, program pelatihan dengan sasaran meningkatkan kemampuan teknis atau skill pegawai, dan program pendidikan dengan harapan meningkatnya pengetahuan keilmuan pegawai. Permasalahan organisasi yang kedua yang jamak terjadi adalah di bidang system and tools atau penerapan sarana pendukung beserta seperangkat aturan untuk menjalankan fungsi dan kegiatan organisasi. Sebagai contoh kongkrit adalah bagaimana kebijakan Bupati Sragen untuk memangkas birokrasi (debirokrasi) dalam berbagai sub sistem pelayanan yang ada dalam pemerintahan tingkat Kabupaten Sragen (dan hierarki dibawahnya) meliputi pelayanan di bidang perijinan, dokumen kependudukan, dsb. Tidak hanya melakukan debirokrasi, Bupati Sragen juga melakukan pembenahan di bidang tools yaitu dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan menerapkan Sistem Informasi Manajemen (intranet antar desa, kelurahan, kecamatan, dan dinas-dinas yang ada) yang memungkinkan terselesaikannya pekerjaan dengan lebih cepat dan efisien.
Namun jika permasalahan yang terjadi sudah melibatkan suatu kondisi dimana organisasi tersebut dituntut untuk berubah, menyesuaikan dengan kebutuhan perkembangan jaman, maka mau tidak mau yang harus dilakukan adalah dengan melakukan bussiness process redesign (BPR) seperti yang terjadi pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan melakukan Modernisasi Perpajakan yang meliputi restrukturisasi organisasi, perbaikan pelayanan berbasis Teknologi Informasi, pembenahan sistem informasi dari database, dan pengenaan hukuman bagi aparat pajak dengan pemberlakuan kode etik.

II. Optimalisasi Kinerja Organisasi
Secara umum problematika yang dihadapi sebagian besar organisasi berkisar pada faktor internal organisasi sebagaimana disebutkan diatas yang meliputi persoon, tools, dan system. Jika pembenahan-pembenahan sudah dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi, mulai dari persoon, tools, system, atau bahkan sampai dengan pembenahan komprehensif sebagaimana yang terjadi di DJP, maka harapan yang timbul adalah peningkatan kinerja organisasi. Namun ketiga hal diatas tidak serta merta berkorelasi positif dengan peningkatan kinerja organisasi. Ada faktor eksternal yang bisa mempengaruhi kinerja organisasi seperti market climate dan goverment policy. Dalam hal ini jika yang menjadi contoh adalah DJP, maka market climate dan goverment policy meliputi hal-hal yang mempengaruhi kondisi perekonomian makro global dan regional yang bisa mempengaruhi tingkat penerimaan pajak yang dicapai DJP. Contoh kongkrit dari market climate adalah tingkat inflasi, perubahan harga minyak mentah di pasar global, meningkatnya permintaan pasar atas crude palm oil (CPO), dsb. Sedangkan contoh kongkrit dari goverment policy adalah pemberian fasilitas pajak import nol persen atas produk-produk atau komoditas tertentu. Disamping faktor internal dan faktor eksternal yang telah disampaikan diatas, ada hal-hal yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi yang disebut sebagai faktor X. Melanjutkan contoh sebagaimana yang terjadi pada lingkungan DJP, maka faktor X ini meliputi tingkat kepatuhan atau antusiasme masyarakat pembayar pajak (Wajib Pajak (WP)) untuk melaksanakan haknya dalam ikut serta berpartisipasi dalam membiayai pengeluaran negara (dalam perspektif umum disebut sebagai kewajiban membayar pajak). Faktor X ini tidak lepas dari bagaimana pelayanan yang diberikan oleh DJP yang dalam hal ini dilaksanakan oleh aparat pajak (fiskus), dan goodwill dari taxpayer untuk melaksanakan hak dan atau kewajibannya di bidang perpajakan. Hubungan yang ada antara DJP dengan WP dapat ditinjau dari perspektif Ilmu Pengembangan Sumber Daya Manusia, dimana hubungan antara DJP dengan WP dilihat sebagai hubungan yang terjadi antar manusia. DJP sebagai organisasi dilaksanakan oleh fiskus dan WP sebagai individu maupun badan hukum dilaksanakan oleh masing-masing individu maupun pimpinan organisasi (yang tidak lain adalah manusia juga) melalui instrumen-instrumen yang telah ditetapkan dalam ketentuan Undang Undang Perpajakan. Francesco Sofo dalam “Human Resource Development: Perspective, Roles and Practice Choices”, menyampaikan bahwa:
“Human Resource Development (HRD) as the study and practice of human interaction in organizations, including interactions with processes, tools, systems, other humans or even the self. HRD encompasses knowledge, skill, and value bases. They maintained that the goal of HRD is to understand such interactions and to support an improve learning and performance at individual, process and organizational levels”.

Sesuai dengan perspektif tersebut, maka faktor X yang menjadi determinan dalam rangka optimalisasi kinerja DJP adalah bagaimana pola hubungan yang terjadi antara DJP dan WP. Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk men-develop bagaimana pola hubungan yang sudah ada saat ini (antara DJP dengan WP) dapat ditingkatkan ke arah encompasses knowledge, skill, and value bases sebagaimana dimaksud oleh Francesco Sofo. Penulis menterjemahkan pemikiran Sofo ini sebagai berikut:
• knowledge, meliputi upaya DJP untuk meningkatkan pengetahuan WP di bidang peraturan-peraturan perpajakan, bagaimana sosialisasi dilakukan terhadap WP jika ada perubahan ketentuan perpajakan atau jika ada peraturan baru, sehingga outputnya adalah tidak akan ada lagi (atau setidaknya dapat diminimalisir) miss understanding yang terjadi antara WP dengan DJP berkaitan dengan penafsiran terhadap ketentuan peraturan-peraturan perpajakan. Dalam hal ini fungsi Account Representative (AR) sebagai liaisson officer, fungsi KP2KP, dan P2 Humas perlu dikedepankan.
• skill, berkaitan dengan ketrampilan WP untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan menggunakan instrumen-instrumen yang ada dengan benar seperti penggunaan sarana E-Registering dan E-Filling dengan tools E-NPWP dan E-SPT.
• value, merupakan pemahaman WP yang komprehensif akan arti penting pajak bagi kelangsungan kehidupan kenegaraan. Apakah pajak itu sebagai beban (cost) warga negara, atau sebagai kehormatan dan penghargaan (honour) dalam menjalankannya.

III. Komunikasi Efektif
Sebagaimana disampaikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi dapat dilakukan dengan melakukan pembenahan di sektor internal organisasi, yang juga tidak dapat lepas dari kondisi (pengaruh) eksternal organisasi dan faktor X, dan jika kita menggunakan pendekatan sebagaimana paradigma Francesco Sofo untuk memandang pola hubungan yang terjadi antara DJP dan WP, maka salah satu metode taktis dalam upaya optimalisasi kinerja organisasi adalah melalui komunikasi efektif.
Komunikasi efektif pada dasarnya adalah strategi dalam berkomunikasi. Komunikator memperluas pemahaman untuk mengenal diri, dan meningkatkan pengetahuan untuk mengenal sasaran atau tujuan strategis yang ingin dicapai dalam proses komunikasi. Disamping itu komunikator dituntut untuk mengetahui informasi yang seluas-luasnya berkaitan dengan orang yang menjadi lawan komunikasi (komunikan) baik dari sumber langsung maupun pihak ketiga. Sebelum komunikator masuk kepada materi pokok komunikasi (sasaran) diperlukan persepsi yang sama antara kedua belah pihak dalam memandang sesuatu (misalnya persepsi tentang pajak). Upaya untuk menyamakan persepsi ini dapat dilakukan dengan menghilangkan sekat-sekat psikologis yang ada, misalnya dengan menumbuhkan pemahaman atas asas equalty before the law terhadap komunikan. Setelah sekat-sekat psikologis dapat ditekan dan posisi kedua belah pihak sudah sedemikian dekat, maka komunikator dapat dengan mudah masuk ke materi komunikasi (sasaran). Dalam hal ini jika kita kembali merefleksikan ke dalam pola hubungan antara DJP dan WP, maka hal pertama yang dilakukan DJP adalah menumbuhkan pemahaman tentang arti penting pajak bagi kelangsungan kehidupan bernegara. Bagaimanapun juga pajak yang tinggi merupakan momok bagi masyarakat, dan memang sifat dasar manusia tidak suka dengan pajak. Namun jika terdapat kesadaran bersama diantara semua WP bahwa asas keadilan tertinggi dalam sebuah negara adalah equality before the law, maka masyarakat akan mematuhinya sebagai bagian dari social contract.

IV. Implementasi Komunikasi Efektif
Banyak kalangan menyatakan bahwa berkomunikasi itu merupakan suatu seni dalam berbicara. Dikatakan suatu seni karena terdapat faktor keindahan di dalam proses penyampaian materi pembicaraan (sasaran). Seni berbicara yang dikenal dalam dunia intelijen meliputi elisitasi, wawancara, dan interograsi. Seni berbicara pada hakekatnya merupakan bentuk praktis dari komunikasi efektif yang dapat diaplikasikan kedalam pelaksanaan tugas sebagai fiskus sebagaimana upaya optimalisasi kinerja organisasi (dalam hal ini DJP) berkaitan dengan faktor X yang menggunakan paradigma Francesco Sofo sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya. Aplikasi dari seni berbicara antara lain sebagai berikut:
• Elisitasi merupakan suatu metode dalam berkomunikasi dimana kedudukan para pihak yang ada didalamnya adalah setara (seimbang). Elisitator men-drive elisitan untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan oleh elisitator tanpa menyadari bahwa yang ia sampaikan tersebut adalah informasi yang sangat dibutuhkan dan bernilai bagi elisitator. Elisitator dapat menggunakan cover dalam penggunaan metode ini sehingga elisitan tidak menyadari dengan siapa dia berbicara. Dalam berkomunikasi Elisitator tidak langsung menuju ke sasaran dan mengeruk informasi sebanyak-banyaknya, namun berputar-putar dan informasi yang diterima dapat berupa penggalan-penggalan yang nantinya dapat diolah dan digabungkan. Elisitasi dapat dimanfaatkan oleh fiskus dalam memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang WP yang akan berguna dalam melakukan koreksi terhadap pelaporan perpajakannya, tentunya dengan melakukan pendalaman terhadap informasi yang diterima tersebut dan mengolahnya sehingga bernilai data.
• Wawancara mempunyai ciri-ciri bahwa kedudukan kedua belah pihak adalah seimbang, dan masing-masing pihak menyadari kedudukannya dan dengan siapa lawan komunikasinya. Aplikasi wawancara dalam tugas dan pekerjaan sebagai fiskus dapat dilakukan ketika melakukan pemeriksaaan pajak, meminta keterangan tentang pemenuhan kewajiban perpajakan, memberikan penyuluhan kepada WP, dsb;
• Interograsi dapat dilakukan ketika fiskus melaksanakan tugas pemeriksaan maupun penyidikan terhadap WP yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam interograsi posisi para pihak tidak setimbang. Interogrator memposisikan diri lebih tinggi dalam pengertian bahwa fiskus sebagai interogrator dapat menggunakan tindakan-tindakan hukum yang bersifat memaksa kepada WP yang diduga melakukan tindak pidana perpajakan, seperti misalnya penyitaan, penyegelan, pemblokiran rekening, dan bahkan melalui gidzeling (paksa badan).

Catatan Penting:
• Secara umum problematika yang dihadapi sebagian besar organisasi berkisar pada faktor internal organisasi meliputi persoon, tools, dan system. Jika permasalahan ada pada tingkat persoonlijk maka dapat dilakukan replacement atau humanpowerment. Jika permasalahan ada pada tools maka dapat dilakukan penyesuaian-penyesuaian, dan jika permasalahan ada pada system, maka dapat diatasi dengan melakukan restrukturisasi organisasi.
• Ketiga upaya pembenahan tersebut bersifat internal dan tidak serta merta berkorelasi positif dengan peningkatan kinerja organisasi karena masih ada faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja organisasi yaitu market climate dan goverment policy. Disamping faktor internal dan faktor eksternal ada faktor X sebagai determinan dalam menilai kinerja organisasasi.
• Hubungan yang ada antara DJP dengan WP dapat ditinjau dari perspektif Ilmu Pengembangan Sumber Daya Manusia, dimana hubungan antara DJP dengan WP dilihat sebagai hubungan yang terjadi antar manusia. DJP sebagai organisasi dilaksanakan oleh fiskus dan WP sebagai individu maupun badan hukum dilaksanakan oleh masing-masing individu maupun pimpinan organisasi (yang tidak lain adalah manusia juga) melalui instrumen-instrumen yang telah ditetapkan dalam ketentuan Undang Undang Perpajakan.
• Salah satu metode taktis dalam upaya optimalisasi kinerja organisasi berkaitan dengan faktor X yang menjadi determinan dalam kinerja organisasi adalah melalui komunikasi efektif yang dapat diimplementasikan dalam bentuk elisitasi, wawancara, dan interograsi.

–ooOoo—

Tinggalkan komentar